Sistem Informasi Desa Pekunden
Desa Pekunden merupakan salah satu desa bersejarah di wilayah Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, yang memiliki akar sejarah kuat sejak masa pra-Kadipaten Banyumas. Jauh sebelum berdirinya Kadipaten Banyumas oleh Adipati R. Joko Kaiman (Adipati Wargautama II), kawasan di pinggiran Sungai Serayu sudah dihuni oleh keturunan Majapahit dari garis Raden Baribin, yang kelak melahirkan para adipati di wilayah Banyumas.
Salah satu tokoh penting dalam sejarah Desa Pekunden adalah R. Bagus Semangun, seorang pemuda yang sejak kecil diasuh oleh seorang pengrajin warangka keris (mranggi) di Desa Kejawar, yang dikenal dalam Babad Banyumas sebagai Kyai Mranggi Semu. Setelah dewasa, R. Bagus Semangun menikahi R. Ayu Kartimah, putri dari Adipati Wirasaba, dan berganti nama menjadi R. Joko Kaiman.
Ketika Adipati Wirasaba VI (Adipati Wargautama I) terbunuh karena kesalahpahaman oleh utusan Sultan Hadiwijaya dari Pajang, R. Joko Kaiman ditunjuk menggantikan mertuanya sebagai Adipati dengan gelar Wargautama II. Untuk mencegah konflik dengan putra-putri kandung Adipati sebelumnya, ia kemudian membagi wilayah Kadipaten menjadi empat: Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap.
Dalam perenungannya, R. Joko Kaiman mendapatkan wangsit (bisikan gaib) yang memintanya untuk memindahkan pusat pemerintahan ke tempat baru di barat laut Desa Kejawar, yang ditandai dengan adanya pohon tembaga. Ia kemudian berkonsultasi dengan orang tua angkatnya, yang menyetujui dan menyarankannya untuk mencari sosok bernama Eyang Yudhakarsa.
Perjalanannya membawanya ke tepi Sungai Serayu, tempat ia bertemu dengan seorang lelaki tua yang ternyata adalah Eyang Yudhakarsa, seorang pertapa sekaligus tokoh spiritual di wilayah tersebut. Bersama Eyang Yudhakarsa, ia menemukan pohon tembaga yang terletak di pertemuan Sungai Banyumas dan Sungai Pasinggangan. Di bawah pohon itulah, R. Joko Kaiman memanjatkan doa dan memohon izin dari para penunggu gaib (danyang) untuk mendirikan Kadipaten Banyumas.
Menurut sesepuh desa seperti Eyang Gito Sewoyo dan narasumber seperti Nasirin, posisi geografis Desa Pekunden sangat strategis. Dikelilingi oleh Sungai Serayu di utara dan timur serta Gunung Kendheng di selatan, desa ini memiliki pertahanan alami dari serangan luar. Sungai juga berfungsi sebagai jalur evakuasi, sementara gunung menjadi tempat ideal untuk memantau pergerakan musuh dari kejauhan.
Warga Desa Pekunden meyakini bahwa mereka adalah keturunan langsung dari Majapahit, melalui garis R. Baribin, dan bahwa R. Joko Kaiman adalah penerus yang dipilih secara spiritual untuk mendirikan pemukiman ini. Selain itu, tokoh lain yang dihormati adalah Eyang Tirtayudha, adik dari Ngabehi Janah II, yang dipercaya sebagai lurah pertama yang menamai wilayah ini sebagai Desa Pepunden. Pemakamannya berada di daerah Depok, yang dulunya merupakan tempat semedi dan kini sudah tertutup lumpur akibat banjir besar Blabur Banyumas tahun 1861.
Setelah Indonesia merdeka, masyarakat Desa Pekunden mulai membangun sistem pemerintahan yang lebih modern tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisi dan leluhur. Didirikanlah Balai Desa Pekunden, yang berfungsi sebagai tempat musyawarah warga. Sebelumnya, kegiatan rembug desa dilakukan di rumah para lurah yang berbentuk rumah joglo dengan halaman luas.
Tradisi spiritual dan budaya terus dijaga, terutama kegiatan rutin seperti ziarah makam leluhur di bulan Muharram/Sura, ruwat bumi, tumpengan, dan pagelaran wayang kulit yang dilaksanakan di pelataran balai desa. Dalam seni dan budaya, warga Pekunden aktif dalam karawitan, tari tradisional, dan ketoprak, yang sempat mencapai kejayaannya pada tahun 1970-an.
Nilai-nilai luhur seperti keguyuban, kerukunan, dan gotong royong tetap dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam dunia pertanian, para petani masih melaksanakan ritual selamatan sebelum menanam dan sesudah panen raya sebagai wujud syukur atas berkah yang diterima.